TEOLOGIA SISTEMATIKA – DOKTRIN MANUSIA DAN DOSA
(CHRISTIAN ANTHROPOLOGY)
Dari Alkitab yang adalah Firman Allah, kita mempelajari satu prinsip bahwa Allah itu menciptakan alam semesta beserta segala isinya, termasuk manusia diciptakan segambar dan serupa dengan-Nya pada penciptaan hari keenam. Doktrin ini menyerang pandangan evolusionisme yang mengajarkan bahwa manusia ada dengan sendirinya. Kalau manusia ada dengan sendirinya berarti manusia tidak memerlukan Pencipta, padahal di dalam kesehariannya, tidak dapat disangkali bahwa manusia pasti memerlukan Pencipta, karena Allah telah menaruh bibit iman dasar (Pdt. Dr. Stephen Tong menyebutnya natural faith) di dalam setiap batin/hati manusia (Roma 1:19-21 ; Ibrani 11:3). Dengan adanya bibit iman dasar ini, sebenarnya tidak ada manusia yang atheis murni, karena semua manusia tanpa kecuali pasti memiliki sense of divinity/perasaan keberagamaan (istilah John Calvin) di mana mereka memiliki konsep adanya Allah. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengenal pribadi manusia dan adanya dosa di dalam diri manusia itu dalam perspektif Allah di dalam Alkitab.
3.1 Signifikansi Penting Manusia Diciptakan Segambar dan Serupa Dengan Allah
Kembali, apakah signifikansi pentingnya manusia yang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah ?
Pertama, manusia adalah ciptaan Allah. Dunia postmodern (yang dipengaruhi oleh Gerakan Zaman Baru) yang kita hidupi sekarang sedang mengajarkan suatu konsep bahwa manusia itu hebat, pintar, bahkan adalah “allah”. Training-training motivasi yang ada terus menjamur dan mengindoktrinasi orang dunia (termasuk banyak orang “Kristen” yang ikut terjerumus) dengan konsep bahwa manusia itu overman. Ide ini sebenarnya diimpor dari pandangan Ãœbermensch ala filsuf F. Nietzsche. Apakah benar bahwa manusia itu hebat dan mampu mengerjakan apapun? Sejarah membuktikan tidak demikian adanya. Ketika manusia mengilahkan rasio mereka di zaman rasionalisme, ternyata hasilnya adalah Perang Dunia 1 dan 2 yang memakan banyak korban jiwa. Setelah mengilahkan rasio, manusia semakin gila di zaman postmodern yaitu mengilahkan emosi/feeling/perasaan sebagai kriteria “kebenaran” ditambah spiritualitas semu. Alhasil, bukan kebenaran yang mereka dapatkan, tetapi bencana. Akibat pragmatisme sempit di zaman postmodern, Tuhan menghukum manusia akibat dosa dengan berbagai bencana dari Tsunami di Aceh, lumpur Lapindo di Porong sampai banjir di Jakarta. Manusia yang menerima bencana ini menganggapnya sebagai hal biasa dan tidak bertobat dari dosa-dosa mereka. Tidak ada jalan lain, manusia harus kembali kepada Allah dan mengerti naturnya yaitu sebagai ciptaan Allah. Kalau manusia adalah ciptaan Allah berarti : pertama, manusia harus bergantung kepada Allah. Manusia diciptakan untuk bergantung kepada Allah selama-lamanya. Itulah unsur persekutuan (fellowship) antara Allah dengan manusia. Lihatlah persekutuan yang indah antara Allah dengan Adam dan Hawa pada mulanya, mereka terlihat begitu intim, bisa langsung berkomunikasi dengan Allah. Ketika manusia ingin mengerti natur aslinya, jangan mengerti dengan konsep psikologi yaitu dari sesama manusia berdosa, tetapi harus mengerti dari konsep Allah sebagai Pencipta. Itu baru mengenal manusia secara sah. Pendiri theologia Reformed, John Calvin menggabungkan dua prinsip yaitu mengenal Allah dan mengenal diri. Artinya, ketika kita mengenal Allah, kita dapat mengenal diri (manusia sebagai ciptaan dan Allah sebagai Pencipta). Kedua, manusia yang diciptakan oleh Allah harus menyadari naturnya sebagai ciptaan, bukan Pencipta. Hal ini penting untuk menyadarkan kita bahwa sebagai ciptaan kita tetap bernatur ciptaan dan tidak berhak memerintah Pencipta supaya menaati apa yang kita perintahkan. Sebaliknya, kita sebagai ciptaan lah yang taat mutlak di bawah perintah Sang Pencipta. Dengan kata lain, konsep “hamba” (Yunani : doulos) harus menjadi konsep yang melekat di dalam kepala kita. Kita bukan “tuan”, tetapi hamba. Kalau kita adalah hamba, berarti tidak ada hak yang harus kita perjuangkan, tetapi kita harus taat mutlak kepada Tuan kita yaitu Allah. Di dalam melayani Tuhan di gereja pun, kita harus menyadari konsep hamba ini dan tidak sembarangan memerintah orang lain seperti layaknya bos. Setiap anak Tuhan sejati adalah hamba Tuhan yang dipercayakan untuk melayani-Nya dengan bertanggungjawab. Di dalam mendengarkan renungan Firman Tuhan, kita memang diperintahkan oleh Allah melalui Alkitab untuk menguji segala sesuatu (1 Tesalonika 5:21), tetapi tidak berarti kita bersikap negatif terhadap semua khotbah/renungan Firman Tuhan. Ketika ada suara Tuhan menegur kita secara pribadi melalui pencerahan Roh Kudus mengenai dosa-dosa kita, jangan mengeraskan hati, segeralah bertobat. Itulah sikap hamba : dengan rendah hati mau dikoreksi oleh Firman Tuhan dan taat mutlak kepada perintah-Nya. Ketiga, manusia sebagai ciptaan Allah berarti manusia diciptakan dengan sungguh amat baik (Kejadian 1:31) baik tubuh maupun jiwanya. Theologia Karismatik/Pentakos ta sebagian besar menganut pandangan Trikotomi yang berarti bahwa manusia terdiri dari tubuh, jiwa dan roh. Sedangkan di dalam theologia Reformed yang konsisten mengajarkan bahwa manusia hanya terdiri dari tubuh dan jiwa/roh (Dikotomi). Mengapa harus dikotomi ? Karena memang demikian yang diajarkan oleh Alkitab (Matius 10:28 ; 1 Korintus 7:34). Alkitab mengajarkan bahwa jiwa dan roh bukan dua elemen manusia yang berbeda, tetapi satu kesatuan dan dipakai secara bergantian. Ambil contoh, di dalam 1 Korintus 7:34, kata “jiwa” di dalam terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) diterjemahkan spirit di dalam King James Version (KJV) yang dalam bahasa Yunani adalah pneuma, lalu kata “jiwa” di dalam Matius 10:28 menurut terjemahan LAI diterjemahkan soul di dalam KJV yang dalam bahasa Yunani adalah psuchē. Lalu, Tuhan Yesus dan Paulus sama-sama tidak memisahkan pengertian antara jiwa dan roh (baca baik-baik Matius 10:28 dan 1 Korintus 7:34). Tubuh dan jiwa manusia ini diciptakan oleh Allah dengan baik, tetapi banyak orang dunia yang melawan Allah (dan para filsuf) berusaha memisahkan antara tubuh dan jiwa dengan mengatakan bahwa tubuh itu jahat dan jiwa itu baik, sehingga muncullah filsafat dualisme yang diajarkan oleh filsuf atheis Yunani, Plato yang herannya diimpor oleh banyak orang “Kristen” misalnya dengan mengatakan bahwa agama/religion dan ilmu/science tidak ada hubungannya. Kalau ada orang “Kristen” yang berani mengeluarkan pernyataan ini, silahkan pikir apakah orang ini masih layak disebut Kristen atau tidak?! Kembali, karena Alkitab dengan tegas mengajarkan bahwa tubuh (hal-hal jasmaniah) dan jiwa (hal-hal rohaniah) manusia itu diciptakan oleh Allah dengan sangat baik, maka sudah seharusnya orang Kristen sejati mempercayai doktrin ini dengan iman yang teguh dan menjalankannya dengan mengintegrasikan iman Kristen yang beres di dalam setiap kehidupan sehari-hari, baik ilmu, politik, pendidikan, sosial, ekonomi, hukum, dll. Itulah orang Kristen yang otaknya masih waras.
Kedua, manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Sungguh anugerah yang begitu besar yang diterima oleh manusia, mengapa? Karena semua ciptaan lain diciptakan hanya dengan firman-Nya, tetapi manusia dibentuk sendiri dari debu tanah oleh Allah sesuai gambar dan rupa-Nya (Kejadian 1:26). Kata “Kita” di dalam Kejadian 1:26 menunjukkan bahwa kita diciptakan segambar dan serupa dengan gambaran Allah Trinitas. Apa makna penting poin ini? Pertama, manusia yang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah berarti manusia menyandang gambar dan rupa Allah. Seperti yang telah dijelaskan pada Doktrin Allah di atas, maka manusia juga memiliki atribut-atribut Allah, misalnya kebajikan, kebenaran, keadilan dan kekudusan (dengan kata lain, manusia memiliki potensiseperti Allah, tidak berarti manusia adalah “allah”). Sehingga seharusnya manusia yang menyandang gambar dan rupa Allah ini harus merefleksikan atribut-atribut Allah di dalam hidupnya, yaitu dengan hidup kudus, benar, adil dan bajik baik di dalam hati, pikiran, perkataan dan tindakannya. Sudahkah kita melakukan semua hal ini dengan takut dan gentar di hadapan Allah? Kedua, manusia yang menyandang gambar dan rupa Allah berarti manusia itu harus menjalankan mandat dari Allah yang telah menciptakannya segambar dan serupa dengan-Nya. Apakah mandat itu ? Firman Tuhan di dalam Kejadian 1:28 mengajarkan, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Mandat ini di dalam theologia Reformed diklasifikasikan ke dalam tiga prinsip mandat manusia, yaitu manusia sebagai nabi, imam dan raja. Sebagai nabi, manusia harus meneliti dan mempelajari alam semesta. Rev. G. I. Williamson di dalam bukunya Katekismus Singkat Westminster 1 menyatakan hal ini, “Allah menciptakan manusia seturut gambar-Nya dalam hal pengetahuan- Nya.” (Williamson, 2006, p. 57) Sebagai imam, manusia harus mempergunakan seluruh alam semesa ini untuk kemuliaan Allah. Rev. G. I. Williamson di dalam bukunya Katekismus Singkat Westminster 1 menyatakan hal ini, “Allah menciptakan manusia seturut gambar-Nya dalam hal kekudusan.” (Williamson, 2006, p. 58) Dan sebagai raja, manusia harus menguasai alam semesta ini untuk diusahakan dan dipelihara (Kejadian 2:15). Rev. G. I. Williamson di dalam bukunya Katekismus Singkat Westminster 1 menyatakan hal ini, “Allah menciptakan manusia seturut gambar-Nya dalam hal kebenaran.” (Williamson, 2006, p. 59) Lalu, Williamson menyimpulkan, “Karena ia mengetahui kehendak Allah (sebagai seorang nabi), memiliki kerinduan untuk semata-mata melayani Dia (sebagai seorang imam), ia juga mampu melakukan pekerjaan sebagai raja yang benar atas ciptaan lainnya.” (Williamson, 2006, p. 59) Di dalam theologia Reformed pula, mandat ini disebut mandat budaya (cultural mandate), di mana manusia harus mengatur alam semesta untuk memuliakan Allah. Ada dua kata di dalam Kejadian 2:15 yang perlu diperhatikan, yaitu “mengusahakan” dan “memelihara”. Kata “mengusahakan” identik dengan kata “mengerjakan” atau “melayani”. Ini berarti manusia ada kerjaan (Jawa : nyambut gawe) ketika hidup di dunia ini, yaitu mengelola alam semesta ini sebaik mungkin dengan bertanggungjawab. Lalu, kata “memelihara” identik dengan kata “melindungi” (protect), “menjaga” (keep, guard), dll. Ini berarti manusia bukan hanya mengelola alam seenaknya, tetapi juga harus melindungi, memelihara dan menjaga alam itu untuk kemuliaan Allah. Oleh karena itu, semua tindakan manusia (misalnya, menebang pohon, menggunduli hutan, membuang sampah sembarangan, dll) yang menyebabkan banjir, dll adalah melawan mandat untuk mengusahakan dan memelihara alam semesta ini.
3.2 Realita, Makna dan Sifat Dosa
Manusia yang telah diciptakan oleh Allah ini ternyata bukan malahan bersyukur lalu taat mutlak kepada Allah, melainkan mereka memberontak terhadap Allah. Pemberontakan terhadap Allah inilah yang disebut dosa. Seringkali manusia dunia mengerti dosa hanya di level hal-hal sepele, seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, dll. Itu bukan dosa, tetapi akibat dosa. Dosa dalam bahasa Yunani hamartia bisa berarti meleset dari sasaran (seperti sebuah panah yang meleset dari sasaran yang telah ditetapkan pada papan panahan). Artinya, manusia tidak lagi menggenapi apa yang Allah inginkan di dalam hidupnya, tetapi menyeleweng dan melakukan apa yang mereka anggap baik, sehingga tidak heran Perang Dunia 1 dan 2, banjir, tsunami, dll bermunculan untuk menyadarkan manusia akan keterbatasan dan keberdosaan mereka. Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D. di dalam bukunya The Defense of The Faithmenyatakan, “When man fell it was therefore his attempt to do without God in every respect ... God had interpreted the universe for him, or we may say man had interpreted the universe under the direction of God, but now he sought to interpret the universe without reference to God... The result for man was that he made for himself a false ideal of knowledge.” (Ketika manusia berbuat dosa, itu karena usahanya untuk berbuat tanpa Allah dalam setiap hal... Allah telah menjelaskan/ menginterpretasi kan alam semesta bagi manusia atau kita dapat mengatakan manusia telah menjelaskan/ menginterpretasi kan alam semesta di bawah perintah Allah, tetapi sekarang manusia berusaha untuk menjelaskan/ menginterpretasi kan alam semesta tanpa petunjuk Allah ; ... Hasil bagi manusia adalah bahwa dia menghasilkan bagi dirinya sebuah idaman pengetahuan yang salah.) (Van Til, 1955, p. 15) Itulah yang dimaksud dengan meleset dari sasaran, yaitu tidak lagi menjadikan interpretasi Allah terhadap alam sebagai pusat, tetapi mengagungkan interpretasi diri terhadap alam sebagai sumber “kebenaran”, akibatnya manusia itu sendiri memiliki pengetahuan yang salah.
Selain itu, dosa dalam bahasa Yunani juga bisa berarti melawan hukum Allah. Dosa bukan hanya meleset dari sasaran, tetapi juga lebih jahat lagi yaitu melawan hukum Allah. Setelah mereka menetapkan tujuan hidup mereka sendiri, mereka bahkan menghina dan melawan hukum Allah. Ketika Injil Kristus sampai di telinga mereka, mereka yang sudah ditetapkan-Nya binasa pasti menolaknya, karena mereka menganggap diri mereka hebat, mampu “berbuat baik” untuk masuk “surga”.
Selanjutnya, mari kita mempelajari tiga sifat dosa. Paulus di dalam suratnya kepada jemaat di Roma pasal 3 ayat 9 memaparkan tiga sifat dosa, yaitu : pertama, dosa itu universal. Semua orang tanpa kecuali tidak memandang suku, agama, bahasa, ras, bangsa, golongan sosial, dll sudah berdosa. Dan lebih dalam lagi, Roma 3:23 memaparkan, “...semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah,” (atau terjemahan lebih tepat mengajarkan bahwa semua orang telah berdosa/meleset dari sasaran dan mengurangi kemuliaan Allah). Lebih terperinci lagi, Roma 3:10-18 memaparkan dosa telah meracuni pikiran, perkataan dan tindakan manusia sehingga manusia dapat dikatakan sangat keji. Sifat kedua, dosa itu meleset dari sasaran. Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa dosa itu bersifat selalu ingin menyeleweng dari kebenaran. Setiap ajaran sesat baik di luar maupun di dalam keKristenan adalah dosa yang harus mereka pikul karena berani menyelewengkan Alkitab. Sifat ketiga, dosa itu menundukkan/ menguasai manusia. Ketika manusia yang belum atau bahkan tidak dilahirbarukan, mereka akan terus-menerus berkanjang di bawah kuasa dosa. Kata “di bawah” berarti ada suatu kuasa yang membuat manusia mau tidak mau harus menaati dosa. Kecenderungan hati manusia yang berdosa dan belum diselamatkan adalah berdosa. Di dalam istilah Latin, kondisi ini disebut non- posse non-peccare (tidak bisa tidak berdosa). Hal ini berbeda dengan kondisi awal manusia yaitu posse peccare (bisa berdosa), berbeda juga dengan kondisi mereka yang telah ditebus oleh Kristus yaitu posse non-peccare (bisa tidak berdosa) dan terakhir sangat amat berbeda dengan kondisi anak-anak Tuhan di dalam kekekalan yaitu non-posse peccare (tidak bisa berdosa). Kondisi yang parah ini tidak berarti manusia itu bodoh, idiot, dll. Dari G. I. Williamson di dalam bukunya Pengakuan Iman Westminster, saya mendapatkan pengertian bahwa mungkin orang yang berdosa adalah orang yang sangat pintar, tetapi sayangnya hatinya berdosa ditambah motivasinya yang selalu melawan Allah. Tidak heran, para teroris seperti Dr. Azahari, dll adalah seorang yang jenius bahkan doktor dan profesor tetapi sayangnya kecenderungan hati dan motivasinya adalah berdosa. Adakah penyelesaian dari dosa ini ? Hal ini akan dibahas pada bab berikutnya di dalam Doktrin Keselamatan.
3.3 Dua Kategori Dosa Manusia
Di dalam theologia Reformed berdasarkan prinsip pengajaran Alkitab, ada dua kategori dosa, yaitu dosa asal (original sin) dan dosa aktual. Dosa asal adalah dosa yang dilakukan oleh manusia pertama sebagai representasi manusia seluruhnya. Dosa asal ini mengakibatkan semua manusia tanpa kecuali berada di bawah kuasa dosa. Mengapa ? Menurut G. I. Williamson dalam bukunya Pengakuan Iman Westminster, saya mendapatkan pengertian bahwa Allah menciptakan manusia secara organis, yaitu saling berkaitan satu sama lain di dalam satu manusia yang memiliki kemampuan memperanakkan gambar dan rupanya (Kisah 17:26). (Williamson, 2006, p. 87)
Ada dua pandangan dalam mengerti kesatuan “organis” manusia ini, yaitu pandangan “Kreasionisme” yang membatasi kesatuan “organis” manusia pada tubuh saja (sedangkan Allah akan menciptakan jiwa baru pada manusia/tubuh yang baru lahir) dan pandangan “Tradusianisme” mempercayai bahwa orangtua memperanakkan tubuh dan jiwa anak-anak. Dari kedua pandangan ini, Williamson mengatakan bahwa Alkitab mengharuskan kita mempercayai pandangan kedua, yaitu “Tradusianisme” (Ibrani 7:10 ; Kejadian 46:26). (Williamson, 2006, p. 87) Dari dosa asal yaitu tidak setia kepada perintah Allah di Taman Eden, semua manusia ikut berdosa dan menghasilkan dosa aktual. Dosa aktual berarti setiap manusia yang sudah memiliki bibit dosa asal terus melakukan dosa secara pribadi di dalam kehidupannya sehari-hari. Kedua dosa ini mencengkeram dan membelenggu hidup manusia, sehingga manusia pada kondisi ini dikatakan tidak bisa kalau tidak berdosa (Latin : non-posse non-peccare). Atau dengan kata lain pada diri manusia tidak ada kecenderungan atau, meminjam istilah dari G. I. Williamson, tidak mampu melakukan hal yang baik.
3.4 Dosa dan Allah
Setelah mengerti dua kategori dosa, pertanyaan selanjutnya apakah dosa diciptakan atau diizinkan oleh Allah ? Banyak pandangan mengenai hal ini.
Pertama, di dalam pandangan Hyper-Calvinisme (muncul kira-kira pada pertengahan abad XVII di dalam tradisi Calvinisme), dosa langsung dikaitkan dengan Allah. Artinya, bagi pandangan ini, Allah lah Pencipta dosa. Mengapa? Karena pandangan yang berlebihan ini (Hyper-) mengajarkan bahwa Allah telah menciptakan dan menetapkan segala sesuatu termasuk menciptakan dosa. Padahal Alkitab tidak mengajar hal ini. Kalau Allah Pencipta dosa, mengapa Ia juga disebut Allah yang Mahakudus yang membenci dosa? Jelas, pandangan ini tidak bertanggungjawab dan melawan Alkitab, karena pandangan ini terlalu menekankan kedaulatan Allah dan membuang tanggung jawab manusia.
Kedua, di dalam pandangan Arminianisme, dosa langsung tidak berkaitan dengan Allah, tetapi dengan manusia. Sehingga manusia lah yang harus bertanggungjawab bahkan kalau sudah diselamatkan, manusia juga yang harus bertanggungjawab mengalahkan dosa, karena jika tidak demikian, bagi mereka, keselamatan orang Kristen sejati bisa hilang atau orang Kristen sejati dapat murtad dan menolak Kristus. Pandangan ini sangat menekankan kehendak bebas manusia dan meniadakan kedaulatan Allah. Dan tentu saja, pandangan ini tidak bertanggungjawab dan melawan Alkitab.
Ketiga, di dalam theologia Reformed/Calvinisme yang ketat, Allah memang bukanlah Pencipta dosa, tetapi dosa berada di dalam ketetapan Allah sebelumnya. Dengan kata lain, Allah BUKAN menciptakan dosa tetapi mengizinkan dosa (permissive decree : ketetapan yang mengizinkan) . Mengapa Allah mengizinkan dosa kalau Ia sudah tahu bahwa dosa itu merusak? Kalau Allah sudah tahu dan Ia melarang berarti Ia membatasi kehendak bebas manusia, padahal menurut pengakuan iman Reformed, Allah memberikan kehendak bebas pada manusia tanpa pengaruh apapun. Kemudian, kalau begitu manusia berdosa, Allah langsung interupsi, berarti Allah sedang memanjakan manusia. Dengan diizinkannya dosa, berarti Allah ingin mengajar manusia bahwa manusia itu hanyalah ciptaan yang terbatas dan bisa jatuh ke dalam dosa. Oleh karena itu, manusia tidak boleh menyombongkan diri! Lalu, kalau manusia berdosa, salah siapakah itu ? Apakah Allah salah ? TIDAK. Allah hanya mengizinkan dosa dan tentu saja manusia lah yang melakukan dosa, sehingga yang harus dijatuhi hukuman dosa adalah manusia.
3.5 Akibat Dosa Manusia
Dosa yang telah dilakukan oleh manusia pasti berakibat, dan bahkan akibatnya parah, yaitu :
Pertama, dosa merusak hubungan antara manusia dengan Allah. Yesaya 59:1-2 memberitahu kita tentang hal ini, “Sesungguhnya, tangan TUHAN tidak kurang panjang untuk menyelamatkan, dan pendengaran- Nya tidak kurang tajam untuk mendengar; tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu.” Dosa membuat hubungan manusia dengan Allah terputus, sehingga manusia tidak lagi mengenal Allah sejati, tetapi mencari sesuatu yang bisa disebut “Allah”. Tidak heran, seorang theolog Reformed terkenal abad ini, Rev. Dr. John R. W. Stott pernah mengatakan bahwa agama itu bukan mencari Allah, tetapi sedang melarikan diri dari hadirat Allah. Mengapa agama muncul? Bagi Dr. Stott, agama muncul karena manusia ingin melarikan diri dari Allah. Alkitab juga menegaskan hal serupa, “Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah.” (Roma 3:11) Ayat 11 ini berkaitan dengan ayat sebelumnya, 10, yang mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang benar. Jadi, manusia yang sendirinya tidak benar tentu juga tidak akan pernah dan bisa mencari Allah, karena di dalam dirinya hanya kejahatan yang mereka terus lakukan (baik dari segi motivasi, cara dan tujuan).
Kedua, dosa merusak hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri. Ketika Allah menciptakan manusia, Ia mencipta manusia segambar dan serupa dengan-Nya. Dengan kata lain, mereka sangat mengenal siapa diri mereka, yaitu ciptaan Allah yang mengakibatkan Allah mengatakan ciptaan-Nya sungguh amat baik (Kejadian 1:31). Tetapi, dosa merusak segalanya. Dosa mengakibatkan manusia tidak lagi mengenal pribadinya sendiri. Sehingga tidak usah heran, studi psikologi muncul bukan untuk mengembalikan pribadi manusia kepada Sumber yaitu Penciptanya, tetapi menafsirkan ulang pribadi manusia dari perspektif manusia itu sendiri. Mereka ingin meniadakan Allah untuk mengenal manusia, tetapi herannya memakai standar manusia yang sama berdosanya untuk mengenal diri manusia. Cukup sah kah apabila manusia yang berdosa sama-sama dapat mengenal manusia, padahal dosa nantinya mengakibatkan rusaknya hubungan manusia dengan manusia (lihat poin ketiga) ? Tidak dan bagi saya itu sungguh aneh. Lalu, selain psikologi, manusia yang tak mengenal jati dirinya berusaha menonjolkan jati dirinya dengan kelakuan-kelakuan aneh, misalnya homo, lesbian, banci, pergi ke diskotek (dugem : dunia gemerlap), dll. Mereka sudah melupakan esensi jati diri mereka dan menggantinya dengan jati diri palsu untuk mendapatkan penghormatan dari orang lain.
Ketiga, dosa merusak hubungan antara manusia dengan manusia. Lebih lanjut lagi, di dalam surat Roma 3:10-18, Paulus menjabarkan tentang akibat dosa di dalam wilayah pikiran, perkataan dan tindakan lalu berakhir dengan suatu kesimpulan bahwa sebenarnya akibat dosa berdasar pada esensi dosa yaitu tidak takut akan Allah (Roma 3:18). Akibat dosa inilah yang saya sebut mempengaruhi terputusnya/ rusaknya hubungan manusia dengan manusia. Manusia dengan manusia tidak lagi seperti manusia pertama (sebelum berdosa) yang saling bersahabat, tetapi mulai bermusuhan dan saling menyalahkan. Ketika Adam ditanya oleh Tuhan tentang alasan memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat, Adam bukan mempertanggungjawab kan perbuatannya, malahan menuduh Hawa. Itulah akibat dosa pada hubungan interpersonal (pribadi dengan pribadi) yaitu saling menyalahkan. Tidak heran, di abad postmodern ini, istilah “mengkambinghitamkan” menjadi populer. Diri kita yang bersalah tidak berani mempertanggungjawab kan kesalahan kita, malahan kita menuduh orang lain bahkan sahabat kita yang terdekat yang bersalah agar kita dapat lolos dari pertanggungjawaban itu. Yang lebih parah lagi, untuk menutupi realita dosa, kita rela menyuap para pejabat pemerintah (misalnya hakim, dll). Itulah parahnya akibat dosa manusia. Dan yang lebih menakutkan, manusia tidak lagi mempercayai orang lain bahkan sahabatnya sendiri, karena efek ini.
Keempat, dosa merusak hubungan antara manusia dengan ciptaan lainnya. Dosa manusia juga mengakibatkan alam dan ciptaan lainnya tidak lagi bersahabat dengan manusia. Pada waktu Penciptaan, semua manusia, hewan dan tumbuhan/alam sangat bersahabat. Kucing bisa bersahabat dan “mengatakan halo” kepada anjing dan bahkan kepada macan, dll. Tetapi dosa mengakibatkan keharmonisan hubungan tersebut rusak. Kucing menjadi sangat takut dengan anjing apalagi kepada manusia. Alam juga memberontak terhadap manusia karena sering diperlakukan tidak adil. Tidak heran, tsunami, bencana tanah longsor, banjir di Jakarta, dll muncul sebagai akibat dosa manusia khususnya dosa kerakusan yang menggunduli hutan, membuang sampah sembarangan di selokan, laut, dll. Terhadap bencana-bencana yang terjadi, manusia harus bertanggungjawab.